Jokowi Dan Momentum Optimisme

Opini Eko Sulistyo

The Economist edisi 27 Februari – 4 Maret 2016 menurunkan laporan khusus tentang apresianya terhadap berbagai kebijakan yang sedang dijalankan pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.

Dengan judul “Jokowi’s Moment,” majalah yang dikenal memiliki pengaruh cukup luas di kalangan para pengambil kebijakan dan pebisnis dunia ini, seolah hendak menjawab keraguan banyak pihak yang memandang kepercayaan kepada Jokowi adalah pilihan keliru.

Majalah ini telah mengikuti Jokowi secara intensif sejak politisi yang memulai karir politiknya sebagai Wali Kota Solo hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta pada 2012.

Edisi Januari 2014 dalam tulisannya berjudul “No Ordinary Jokowi”, majalah ini sudah menyatakan bahwa gubernur Jakarta ini menjadi favorit sebagai Presiden RI berikutnya menggantikan SBY, meskipun saat itu belum menjadi kandidat.

Pernyataan ini seperti penegasannya pada edisi 8 Juni 2013, bahwa popularitas Jokowi yang fenomenal karena dianggap jujur di negara tempat ‘politisi’ dianggap ‘busuk’.

Dalam laporan khusus kali ini The Economist mengangkat modal politik Jokowi yang kuat. Dia tidak berasal dari elite Jakarta, militer dan politisi DPR. Dia anak sulung dari keluarga biasa dari Solo, Jawa Tengah.

Rakyat Indonesia mendukung Jokowi karena merasa dia dianggap sebagai bagian dari orang biasa yang ingin melawan endemik korupsi. Para pengusaha lokal  juga mendukungnya karena merasa Jokowi juga bagian dari mereka, karena menjalankan bisnis mebel di Solo.

Para investor juga menyambutnya dan mengharapkan Indonesia tidak terlalu proteksionis.

Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7%. Jokowi menganggap era pertumbuhan dengan perdagangan komoditi sudah berakhir dan ingin menarik industri manufaktur dan jasa yang bernilai tinggi, dan hendak menjalankan investasi massif dalam infrastruktur serta menciptakan iklim bisnis yang lebih baik.

Dalam indeks World Bank’s Ease of Doing Business peringkat Indonesia menduduki posisi 109 dari 189.

Meski pada awal konsolidasi politiknya Jokowi terkesan seperti ‘lone figther’ alias pejuang yang sendirian tertatih-tatih menghadapi berbagai tekanan politik, baik dari partai pendukungnya maupun koalisi oposisi yang menjadi lawan politiknya saat pilpres, Jokowi juga tidak memimpin partai sebagaimana kebanyakan presiden pasca-Soeharto.

Akan tetapi, memasuki tahun kedua pemerintahannya, sepertinya mulai terciptanya keseimbangan politik baru yang tersentral pada dirinya. Pelan tapi pasti dengan gaya pragmatis dan keras kepalanya, Presiden Jokowi berhasil keluar dari semua badai politik yang mengitarinya dan melakukan konsolidasi dalam Kabinet Kerja.

Koalisi Merah Putih yang dipimpin Prabowo dari Gerindra mulai mendukungnya, termasuk Partai Golkar, partai terbesar kedua di DPR dan PAN.

Peluang dan Tantangan
The Economist memuji langkah Jokowi dengan memprioritaskan investasi infrastruktur dan mempercepat keadilan dan pemerataan di wilayah Indonesia timur.

Dengan infrastruktur yang lebih baik akan menurunkan harga barang kebutuhan pokok, meningkatkan daya saing dan lapangan kerja, khusunya di daerah. Semua investasi ini adalah tujuan dari pemerintahan Jokowi guna menyebarkan kesejahteraan, termasuk ke pulau-pulau terluar.

Pada 1990-an Indonesia menginvestasikan 8% dari GDP untuk infrastruktur tiap tahun. Sesudah krisis Asia 1997/1998 jumlahnya menurun menjadi 3% per tahun, dan mulai beranjak naik.

Pada 2014 jumlah investasi sudah mencapai 6,4%. Jokowi merencanakan akan meningkatkan investasi infrastruktur menjadi 7,7% dari GDP hingga 2017.

The Economist juga memberi tekanan pada “Ocean View.” Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau yang membentang sepanjang 5000 km, zone ekonomi eksklusif dan sekitar 93.000 km persegi perairan dalam.

Dengan semua kekayaan itu Indonesia hanya mengekspor US$4,2 miliar ikan per tahun. Ironisnya 90% dari kekayaan laut Indonesia diambil oleh penangkapan ilegal dari negera lain dan merugikan negara US$20 miliar per tahun.

Jumlah ini menurun setelah Menteri Susi yang didukung Jokowi melakukan tindakan hukum tegas dengan menenggelamkan sekitar 40 kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia.

Presiden Jokowi juga dianggap mulai memenuhi janjinya dengan meningkatkan iklim bisnis dan investasi. Awal 2015, Jokowi meluncurkan kebijakan one stop service untuk izin usaha, dengan memotong jumlah hari yang dibutuhkan.

Seperti diketahui untuk memulai izin bisnis di Indonesia memerlukan rata-rata 47 hari, bandingkan dengan Malaysia yang 4 hari dan Singapura 2,5 hari.

Sejak September 2015 Jokowi meluncurkan sejumlah kebijakan untuk membantu dunia usaha, mempermudah beberapa regulasi, memotong  tarif energi untuk industri, mempermudah  prosedur perizinan bagi usaha industri real estate dan memberikan insentif pajak untuk berinvestasi di zone industri tertentu. Memotong jalur birokrasi, menjadi senjata Jokowi untuk memotong rantai korupsi.

Namun, Jokowi bukanlah Orde Baru yang hanya mengejar pertumbuhan, tapi melupakan pemerataan dan tanggung jawab sosial negara.

Kewajiban konstitusional negara menjamin hak-hak dasar warga negara dan kaum miskin  diberi penekanan serius oleh Jokowi dengan program sekolah gratis hingga 12 tahun, dan menyediakan dana bagi 15,5 juta kaum miskin dalam bentuk dana transfer tunai Rp200.000 per bulan (US$14,37) dengan anggaran dari pemotongan subsidi BBM sebagai belanja modal tambahan. Kini program kesehatannya telah menjangkau 88 juta orang.

Menurut The Economist sejauh ini kebijakan luar negeri Jokowi sudah pada jalur yang tepat dengan menjamin rasa damai di dalam negeri dan ditingkat regional.  Dengan gayanya yang pragmatis, Presiden Jokowi menekankan bahwa politik luar negeri bebas aktif Indonesia harus dapat memberikan keuntungan pada Indonesia.

The Economist mengapresiasi kebijakan Menteri Luar Negeri Retno yang sejalan dengan visi pemerintahan Jokowi yang mempunyai beberapa prioritas.

Pertama, melindungi integritas wilayah NKRI. Misalnya dalam penanganan konflik 10 wilayah perbatasan dengan Malaysia atau dengan beberapa negara di Laut China Selatan. Kedua, untuk melindungi orang Indonesia di luar negeri, termasuk TKW dan TKI di Malaysia dan Timur Tengah.

Bagian terakhir dari laporan The Economist seperti ingin menjawab sikap sinis dari seorang pengusaha asing yang menganggap bahwa Indonesia sepertinya hanya akan mentok sebagai ‘negeri harapan’ belaka. Menurut majalah ini pertanyaan krusialnya adalah bukan seberapa banyak apa yang ingin Jokowi lakukan, tapi apa yang dapat ia berikan.

Dengan paparan apa yang sudah dilakukan dan diberikan Jokowi selama hampir 1,5 tahun pemerintahannya, maka nasib Jokowi akan ditentukan oleh akselerasi dan perwujudan program-programnya.

Indonesia akan memiliki jalan raya yang membentang dari Jawa dan Sumatra serta pelabuhan di sepanjang bagian timur. Langkah-langkahnya untuk melawan proteksionis dari parlemen, terus mengontrol kementerian dan mempertahankan serangan melawan korupsi, akan menjadi kunci lainnya dalam menopang keberhasilan programnya ke depan.


*) Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi pada Kantor Staf Presiden

SUMBER: Bisnis.com, Jum'at, 18/03/2016 09:40 WIB

Previous Post Next Post