Oleh Yulia Damayanti Purnomo
Jika Chairil Anwar masih hidup,
Ia akan berkata :
Semua harus dicatat, semua mendapat tempat!
Banyak kisah melahirkan rasa perih di bathin, saat mengenang 1998. Sekaligus membuncahkan semangat untuk tidak pernah berhenti melawan, tatkala kenangan itu melintas di pelupuk mata. Ada juga peristiwa yang untuk mengingatnya saja, kami tak mampu. Terlalu perih, terlalu menyiksa, utamanya bagi orang – orang dekat.
Kejamnya rejim otoriter militeristik Soeharto telah menjadi ‘nyawa’ bagi mahasiswa kala itu. Lahirlah banyak jargon heroik seperti “peluru tak membuat ragu, penjara tak membuat jera”, “hidup mulia berpayung demokrasi atau mati syahid”, “aktifis adalah sosok yang kaki kanannya telah dipenjara, hanya menunggu waktu untuk memasukkan yang kiri”, “revolusi atau mati”, dan masih banyak lagi. Ungkapan yang lahir dari depa demi depa perjalanan melawan rejim penindas.
Menyusuri lorong pengap, dingin, sunyi dan melawan arus, itu yang terus dilakukan guna menyusun kekuatan. Kekuatan untuk melawan. Kekuatan untuk menumbangkan rejim Soeharto. Lorong gelap nan panjang itu bertabur peristiwa pilu. Peluru yang liar menghampur, darah yang tumpah, luka menganga, gas air mata yang pekat, air limbah water canon yang gatal, kost yang tak aman, juga kawan yang hilang entah ke mana. Semua peristiwa itu harus kami terima sebagai konsekuensi logis aktifis. Rentetan dera pilu itu harus kami trima dengan dua tangan meski mengalirkan darah.
Tahun 1998 ditakdirkan menjadi tahun bersejarah tumbangnya rejim Soeharto. Dahsyatnya 1998 adalah buah dari perjalanan panjang para ‘sesepuh’ pergerakan yang telah lama bergerilya. Bahkan, bisa jadi ketika tahun 1998, mereka justru tak nampak dipermukaan. Tetap berjaga di sel – sel organisasi. Mendorong mahasiswa muda untuk menjadi barisan terdepan. Membagi tugas secara alami untuk menjaga semua lini. Di mataku, rata – rata mereka tampak seperti pengintai yang menghitung betul gerak perlawanan mahasiswa dari dekat maupun jauh. Sebut saja yang kukenal dengan baik (tidak sok kenal) ada nama Jabo, Abu, Menhir, Ismu. Empat nama ini yang mulai mancep di ingatan sejak semester awal kuliah. Pertama kali yang menginisiasi dan mencekoki adalah Mas Menhir dengan Suara Independent-nya. Hehehe....(cerita rinci tentang sosok Menhir, akan dikupas tuntas pada edisi lain.red)
***
Ulin Terhuyung
Seingatku, hari itu adalah beberapa hari setelah Soeharto lengser, medio Mei 1998. Pagi, sekitar pukul 10.00 WIB. Belum banyak kawan yang hadir di markas Dewan Rakyat dan Mahasiswa Surakarta (DRMS). DRMS adalah sebuah wadah yang lahir pasca Soeharto Lengser. Terdiri dari berbagai elemen mahasiswa dan rakyat yang ikut melawan saat itu. Waktu itu, saya baru datang dengan Siti Naharin (Sastra Indonesia UNS).
Tiba – tiba dari pintu depan kawan Ulin Ni’am Yusron masuk dengan suara agak lemas tapi menghentak. “Gilang sing mati Cah....Gilang....” lalu terduduk. Gilang adal;ah panggilan akrab dari Leonardus Nugroho Iskandar. Giliran berikutnya, ia langsung mengajak aksi massa untuk mengabarkan bahwa ada kawan yang hilang dan ditemukan tak bernyawa. Kamipun bersiap dan aksipun dimulai. Kabar ditemukannya jenazah dengan ciri – ciri seperti Gilang, seperti petir menyambar. Beberapa hari kami kehilangan jejaknya dan ternyata memang hilang untuk selamanya.
Aksi digelar di gerbang kampus UNS. Tanpa selebaran, tanpa spanduk, serba spontan. Lebih pada luapan marah, tidak trima juga duka. Bercampur aduk jadi satu. Banyak mata memerah, antara marah dan duka. Aksi terasa agak mencekam, karena rata – rata kami terdiam meski tetap berdiri kokoh sesuai komando korlap. Campur aduknya perasaan itu juga yang membuat Ulin menangis ketika orasi.
Awalnya, suaranya terdengar lantang beberapa menit, lalu bergetar dan tersendat saat mengabarkan kematian Gilang. Lalu orasi terhenti dan badannya agak terhuyung. Ingatan ketika Ulin terhuyung itu cukup kuat di kepalaku. Ia mengenakan hem biru motif kotak – kotak dengan tas ransel ijo di pundak. Ulin tidak sampai terjatuh karena seingatku ditolong kawan Azis apa ya... setelah itu kami hening....resonansipun berlaku, kamipun ikut menitikkan air mata. Itu aksi tercengeng yang pernah kutahu... kami akhiri aksi dengan doa lalu kami sudahi.
Kabar Dari Mas Ari Kristyono
Kabar awal ditemukannya jenazah datang dari Ari Kristyono (kala itu menjadi wartawan Bernas). Kabar diterima oleh Mas Imron Rosyid TR, yang saat itu aktif di majalah Kentingan, majalah kampus UNS. Satu jenazah ditemukan di pinggir hutan Sarangan, Magetan, Jawa Timur dengan luka beku di dada. Dugaan awal adalah luka senjata tajam.
Jambret, begitu panggilan akrab Ari Kristyono, mengecek ke Polsek setempat. Ia mencatat semua barang milik jenazah yang diamankan polisi. Mulai dari celana, helm, dompet, tas, dan lainnya. Sepulang dari Sarangan, Jambret mengabarkan semua ciri – ciri itu kepada kawan Imron dan mengajaknya untuk bertemu keluarga Gilang. Setiba di rumah Gilang, Jambret hanya menyerap banyak keterangan dan melihat foto Gilang. Lalu mengajak Imron ke suatu tempat dan menunjukkan foto jenazah Gilang. Benarlah dan yakinlah bahwa itu adalah Gilang. Yang paling membuat yakin adalah tanda tatto di leher. Kawan Gilang memiliki tatto kawat berduri yang melingkar di lehernya. Kabar inilah yang diteruskan pada kawan lain.
Duka menggantung. Bagi aktifis muda, yang baru bergabung dalam hitungan bulan, minggu atau hari, peristiwa ini menjadi pengingat. Bahwa perjuangan ini kadangkala juga meminta nyawa kita. Hati – hati adalah basis keamanan. Mungkin sekarang Gilang, tidak menutup kemungkinan besok kawan lain atau kita malah yang hilang.
Lama sekali Mas Jambret tidak membeberkan secara utuh tentang penemuan jenazah Gilang ini. Ada banyak pertimbangan waktu itu. Utamanya keamanan keluarga. Tapi, sekitar empat tahun lalu, ada diskusi kecil di Balaikota Solo yang membuatnya merasa aman bercerita utuh. Ketika ia menemukan jenazah Gilang, ternyata ada dua jenazah lain di samping Gilang. Sebagai wartawan, ada dorongan kuat untuk mengungkapnya. Tetapi niatan itu menjadi wurung, karena Jambret mengaku ada semacam teror. Teror psikologis ini yang menghentikan langkahnya untuk mengungkap dua jenazah lainnya. Hingga hari ini dua jenazah itu tetap menjadi misteri. Kita tidak pernah tahu apakah itu jenazah kawan kita juga atau bukan.
Jemputan Maut
Siang itu, ternyata menjadi siang terakhir aku melihat Gilang. Setelah rejim Soeharto tumbang, mahasiswa melakukan longmarch dari kampus UNS menuju Balaikota Surakarta. Waktu itu, longmarch dikawal oleh TNI AL bersenjata lengkap. Tak satupun tampak polisi. Polisi cukup riskan jika mengawal mahasiswa. Perseteruan panjang selama aksi – aksi massa, membuat kita gampang duel dengan mereka. Gampang panas dan saling menaikkan eksistensi. Maka dikirimlah TNI AL yang waktu itu mengawal kami sambil senyum – senyum. Sampai di Balaikota, seperti biasa saling bergantian orasi. Membangun semangat, membangun kekompakan juga merayakan ‘kemenangan’.
Perjalanan jauh dari kampus, membutuhkan istirahat. Para mahasiswa banyak berselonjor melepas lelah. Kebetulan waktu itu aku duduk di samping Gilang yang mengenakan hem lengan panjang warna biru. Lengkap dengan tas kecil dan rantai dompet. Gilang terbilang pengamen yang dendy. Bajunya selalu rapi dimasukkan celana. Model rambutnya juga rapi.
Beberapa menit kemudian, ada dua orang laki – laki mengendarai motor, mendekati Gilang. Gilang berdiri, lalu mereka bicara sebentar. Ketika Gilang kembali mendekat, aku tanya; “Siapa?” Gilang menjawab singkat; “Teman pengamen. Aku mau ikut mereka Yul. Ada tawaran pekerjaan di Magetan. Aku kudu kerjo.”
Setelah pamit begitu, ia lalu duduk di atas motor dengan diapit dua temannya tadi. Melesat pergi ke arah Pasar Gedhe dan hilang dari pandangan. Gilang tidak pamit secara terbuka kepada kawan lain. Pamit ke aku saja. Mungkin karena tempat duduk kami yang berdekatan dan aku bertanya. Aku rasakan ia seperti menyelinap pergi. Tapi aku tidak curiga, karena ia bilang bahwa dua lelaki itu adalah temannya. Merekapun terlihat akrab.
Sepeninggal Gilang, aku tercenung. Ingatanku melayang, bila akan ada aksi demo di kampus, kadang dia kujemput di pangkalan ngamen di kawasan Panggung, Solo. Lalu ia rela meninggalkan pekerjaan sebagai pengamen dan ikut aksi di kampus. Kalau sering aksi, berarti dia tidak dapat penghasilan dari ngamen. Padahal ia butuh biaya hidup. Kalau mahasiswa mungkin masih mending, kiriman dari rumah masih bisa diharapkan. Meskipun kadang juga telat datang dan harus hutang makan di warung. Makanya ketika dia bilang “aku kudu kerjo”, aku jadi tersadar, bahwa dia memang harus bekerja. Tidak ada kiriman dari orang tua.
Menjemput Jenazah
Tak diduga, tiga hari setelah kepergian Gilang, ada kabar tentang penemuan jenzahnya di kawasan Magetan. Pagi mendapat kabar, sore kami memutuskan meluncur ke Magetan. Menjemput Gilang. Ada ambulance yang selalu siap mengantar kita kemanapun. Ambulance ini milik kampus UMS yang kala itu bisa bebas digunakan mahasiswa. Ambulance ini juga, yang memberi rasa aman bagi para aktifis jika ingin keliling kota. Tidak pernah ada razia kalau ambulance ini melintas. Mungkin polisi berpikir bahwa itu memang ambulance yang membawa orang sakit atau jenazah. Padahal isinya full aktifis.
Ketika saat mencekam pecahnya bakar – bakaran di Solo, ambulance ini kendaraan ampuh dan aman bagi aktifis. Supirnyapun cukup ganteng! Hahaha, namanya mas Agus. Julukannya Agus Ambulance. Julukan itu untuk membedakan panggilan, karena waktu itu ada dua nama Agus dari kampus UMS. Satunya adalah Mas Agus Zaini.
Yang masih kuingat, waktu berangkat menjemput Gilang, supirnya Mas Agus, lalu yang ikut rombongan ada beberapa kawan laki – laki, tapi aku lupa. Sedang penumpang perempuan hanya aku dan pacar Gilang. Pacar Gilang ini juga aktifis ’98 dari salah satu organisasi Mahasiswa. Sengaja tidak kusebut namanya. Sangex (Luqmanova), Mamek (Slamet Abidin), Mbak Wiji (Wiji Lestari), Wiwin (Winarti), kenal baik dengan pacar Gilang ini.
Sepanjang perjalanan, si pacar ini hanya menangis. Tidak mau makan. Hanya sesekali minum air mineral. Sepanjang perjalanan ia menggenggam erat tanganku. Sambil nangis sesekali ia bercerita. Baru saja pacaran. Tidak lebih dari satu bulan. Selama sebulan pacaran, banyak hal berarti yang mereka lewati. Diantaranya yang paling dia ingat adalah sikap Gilang ketika merasa bersalah padanya. Gilang sangat menyalahkan diri dan menangis. Cerita ini memang benar. Aku sempat melihat ketika Gilang meminta maaf ke pacarnya karena merasa bersalah. Sampai jengkeng (berdiri bertumpu pada lutut) sambil menangis. Kejadian itu sempat aku lihat di salah satu lorong kampus sastra UNS diantara hari – hari padat aksi massa.
Ia juga cerita bahwa sikap Gilang berangsur berubah lembut. Perangainya yang kasar menjadi halus. Sangat sering menangis merenungi hidup. Perangai yang berubah ini juga diungkapkan oleh ibu Gilang, ketika aku bertemu di sebuah diskusi, tiga tahun lalu. Cerita lain yang sangat terkesan bagi si pacar adalah, tiga hari sebelum dijemput teman ngamennya di Balaikota dan pamit ke Magetan, Gilang telah menjadi muallaf.
“Dia kemarin masuk Islam Yul,” begitu sang pacar berkisah. “Tidak aku paksa, tapi dia sendiri yang ingin masuk Islam dan aku membantunya,” imbuh si pacar sambil mengusap air mata. Sampai di Magetan, perempuan ini semakin banyak diam. Menangis. Ketika aku tawarkan untuk melihat jenazah Gilang, ia menolak. “Gak wes Yul, gak kuat aku,” begitu katanya.
Otopsipun Digelar
Sampai di Magetan, rombongan dibantu polisi dan tim otopsi, menuju makam Gilang. Gilang ditemukan sebagai jenazah yang takdikenal dan belum didapat info siapa keluarganya. Sehingga Gilang dimakamkan sebagai Mister X. Menguburkan Mister X tentulah tidak selayak ketika memakamkan anggota keluarga. Ada sekitar empat makam Mister X di samping Gilang. Ndilalah posisi Gilang tidak enak dipandang, apalagi bagi orang – orang yang menyayanginya. Posisi makamnya di pinggir tanah miring yang hampir longsor. Mungkin saja jika ada guyuran hujan besar, makam itu akan tergerus. Jenazah diangkat dan digotong menuju meja otopsi. Jenazahnya memang sudah mulai membengkak. Otopsipun berlangsung di sekitar makam. Ada areal kecil yang dimodel seperti ruang dengan juntaian kain sebagai pembatas. Sekitar pukul delapan malam, otopsi selesai. Bisa bayangkan jam delapan malam, di pemakaman, gelap, sunyi, ditambah dengan aroma jenazah dari tubuh Gilang yang sedang diotopsi. Sungguh istimewa. Mungkin karena banyak orang, sehingga tidak ada rasa takut atau ngeri.
Jenazah langsung dihantar pulang ke Solo. Perjalanan yang mencekam dengan mengusung jenazah. Jelang tengah malam, rombongan memasuki batas kota Solo dari arah Sragen, rombongan meluncur ke markas DRMS. Jenazah disemayamkan di markas duka DRMS hingga pagi menjelang sudah dalam kondisi dibalut peti tertutup.
Aku agak kaget, karena ketika ambulance datang, markas DRMS sudah penuh sesak orang. Semakin bertambah banyak ketika pagi tiba. Hampir separo dari mereka membawa gitar dan wajah mereka tampak baru di mataku. Ternyata mereka adalah kawan – kawan dari Serikat Pengamen Jalanan (SPJ) dan Serikat Pengamen Indonesia (SPI) yang datang secara bergelombang sejak kami berangkat ke Magetan. Mereka datang hampir dari semua titik kota di Pulau Jawa.
Menuju Peristirahatan Terakhir
Jelang pukul 10.00 WIB, jenazah diberangkatkan menuju Astana Purwoloyo ( dekat kampus UNS Solo). Iring – iringan jenazah yang menggunakan mobil melesat dengan cepat. Pagi itu aku baru bisa menangis, ketika mobil jenazah meninggalkan markas DRMS. Aku terduduk di samping pintu gerbang markas.
Lebih menangis lagi, ketika melihan ribuan pengamen yang melayat ke markas DRMS, ternyata memutuskan untuk berjalan kaki menuju Astana Purwoloyo. Bisa bayangkan? Letak markas DRMS di sekitar pasar Klewer, lalu berjalan kaki menuju pemakaman yang berada di sekitar kawasan Pucang Sawit, Kelurahan Jebres. Sudahlah berjalan ramai – ramai, melawan arus pula. Haduuuh...
Aku ikut rombongan pejalan kaki itu.
Awalnya aku membayangkan, bahwa kami akan berjalan dengan hening cipta massal tanda berkabung. Ternyata jauuuuh dari bayangan. Ribuan pengamen jalanan ini berjalan melawan arus dengan sangat riuh dan meriah. Mereka berjalan berjajar rapi sambil bergandengan dan melantunkan lagu – lagu perjuangan. Kadang mereka menari sambil berlari dengan tetap bernyanyi. Hahahahahaha..dasar pengamen....‘Serbuan’ massa di jalan menuju Sekar Pace itu, mengakibatkan ruas jalan terkunci. Tidak ada satupun kendaraan yang berjalan.
Rombongan pengamen jalanan yang mengantarkan Gilang ke peristirahatan terakhir itu juga membawa banyak bendera merah putih. Ukurannya bermacam, ada yang standart, ada yang besar, juga ada yang ukuran mini dan diikat ke lengan kiri. Kawan – kawan DRMS juga sempat membagikan kain hitam ukuran kecil, tanda duka yang dililitkan di lengan kiri.
Sesampainya di makam, para pengamen langsung berhambur. Sudah ketinggalan prosesi pemakaman, tapi mereka tetap mendekat dan berdoa di depan makam Gilang. Aku berdiri sendirian di gerbang makam. Dari gerbang ini, aku bisa melihat makam Gilang yang masih penuh dengan pelayat yang berdoa dan menangis. Siang menjelang. Aku mendekat ke makam Gilang. Masih terlihat dua orang lelaki jongkok di samping makam. Dua lelaki dengan perawakan tinggi besar, pakaian sederhana lengkap dengan tatto di leher, lengan dan kaki. Aku menunggu di belakang mereka sekitar empat meter.
Aku mendengar mereka berbicara pada Gilang di sela tangis. Pandangan mataku juga tertuju pada gundukan makam Gilang. Makam yang lain daripada yang lain. Ada batu nisan yang baru menancap, lalu dipasang foto Gilang berpigura sederhana bersandar pada nisan. Lalu, disepanjang gundukan tanah yang menimbun tubuh Gilang, terhitung ada 13 pendera yang menancap dengan berbagai ukuran. Bendera ini sengaja ditancapkan oleh para pengamen, mungkin sebagai tanda duka dan perlawanan. Setelah dua lelaki itu pergi, aku agak mendekat, berdoa sebentar dan puang jalan kaki sendirian menuju kost di belakang kampus UNS. Selamat Jalan Kawan! Lahul Fatihah...
Aku tidak kenal dekat dengan Gilang. Bahkan sering ‘gelut’ di lapangan. Tapi bagiku dia sosok yang unik.
Berita pemakaman Gilang sempat aku baca keesokan harinya di banyak surat kabar lengkap dengan foto yang diambil dari ketinggian. Terlihat massa yang menyemut menuju Astana Purwoloyo. Pemakaman yang sempat melumpuhkan arus lalu lintas Kota Solo.
Tetap Misterius
Banyak analisa tentang kematian Gilang. Diantaranya ada yang menduga, bahwa dia dihabisi karena bergabung dengan gerakan moral mahasiswa menurunkan Soeharto. Ada juga analisa yang menyebut bahwa kematiannya adalah masalah pribadi dan cinta segitiga. Dari beberapa analisa itu, tidak ada yang menghasilkan kepastian sebab kematian Gilang. Wallahu a’lam bis showab.
Yulia Damayanti Purnomo adalah Koordinator Divisi Perempuan Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR) UNS
![]() |
| Yulia Damayanti |
Jika Chairil Anwar masih hidup,
Ia akan berkata :
Semua harus dicatat, semua mendapat tempat!
Kejamnya rejim otoriter militeristik Soeharto telah menjadi ‘nyawa’ bagi mahasiswa kala itu. Lahirlah banyak jargon heroik seperti “peluru tak membuat ragu, penjara tak membuat jera”, “hidup mulia berpayung demokrasi atau mati syahid”, “aktifis adalah sosok yang kaki kanannya telah dipenjara, hanya menunggu waktu untuk memasukkan yang kiri”, “revolusi atau mati”, dan masih banyak lagi. Ungkapan yang lahir dari depa demi depa perjalanan melawan rejim penindas.
Menyusuri lorong pengap, dingin, sunyi dan melawan arus, itu yang terus dilakukan guna menyusun kekuatan. Kekuatan untuk melawan. Kekuatan untuk menumbangkan rejim Soeharto. Lorong gelap nan panjang itu bertabur peristiwa pilu. Peluru yang liar menghampur, darah yang tumpah, luka menganga, gas air mata yang pekat, air limbah water canon yang gatal, kost yang tak aman, juga kawan yang hilang entah ke mana. Semua peristiwa itu harus kami terima sebagai konsekuensi logis aktifis. Rentetan dera pilu itu harus kami trima dengan dua tangan meski mengalirkan darah.
Tahun 1998 ditakdirkan menjadi tahun bersejarah tumbangnya rejim Soeharto. Dahsyatnya 1998 adalah buah dari perjalanan panjang para ‘sesepuh’ pergerakan yang telah lama bergerilya. Bahkan, bisa jadi ketika tahun 1998, mereka justru tak nampak dipermukaan. Tetap berjaga di sel – sel organisasi. Mendorong mahasiswa muda untuk menjadi barisan terdepan. Membagi tugas secara alami untuk menjaga semua lini. Di mataku, rata – rata mereka tampak seperti pengintai yang menghitung betul gerak perlawanan mahasiswa dari dekat maupun jauh. Sebut saja yang kukenal dengan baik (tidak sok kenal) ada nama Jabo, Abu, Menhir, Ismu. Empat nama ini yang mulai mancep di ingatan sejak semester awal kuliah. Pertama kali yang menginisiasi dan mencekoki adalah Mas Menhir dengan Suara Independent-nya. Hehehe....(cerita rinci tentang sosok Menhir, akan dikupas tuntas pada edisi lain.red)
***
Ulin Terhuyung
![]() |
| Ulin N Yusron |
Tiba – tiba dari pintu depan kawan Ulin Ni’am Yusron masuk dengan suara agak lemas tapi menghentak. “Gilang sing mati Cah....Gilang....” lalu terduduk. Gilang adal;ah panggilan akrab dari Leonardus Nugroho Iskandar. Giliran berikutnya, ia langsung mengajak aksi massa untuk mengabarkan bahwa ada kawan yang hilang dan ditemukan tak bernyawa. Kamipun bersiap dan aksipun dimulai. Kabar ditemukannya jenazah dengan ciri – ciri seperti Gilang, seperti petir menyambar. Beberapa hari kami kehilangan jejaknya dan ternyata memang hilang untuk selamanya.
Aksi digelar di gerbang kampus UNS. Tanpa selebaran, tanpa spanduk, serba spontan. Lebih pada luapan marah, tidak trima juga duka. Bercampur aduk jadi satu. Banyak mata memerah, antara marah dan duka. Aksi terasa agak mencekam, karena rata – rata kami terdiam meski tetap berdiri kokoh sesuai komando korlap. Campur aduknya perasaan itu juga yang membuat Ulin menangis ketika orasi.
Awalnya, suaranya terdengar lantang beberapa menit, lalu bergetar dan tersendat saat mengabarkan kematian Gilang. Lalu orasi terhenti dan badannya agak terhuyung. Ingatan ketika Ulin terhuyung itu cukup kuat di kepalaku. Ia mengenakan hem biru motif kotak – kotak dengan tas ransel ijo di pundak. Ulin tidak sampai terjatuh karena seingatku ditolong kawan Azis apa ya... setelah itu kami hening....resonansipun berlaku, kamipun ikut menitikkan air mata. Itu aksi tercengeng yang pernah kutahu... kami akhiri aksi dengan doa lalu kami sudahi.
Kabar Dari Mas Ari Kristyono
Kabar awal ditemukannya jenazah datang dari Ari Kristyono (kala itu menjadi wartawan Bernas). Kabar diterima oleh Mas Imron Rosyid TR, yang saat itu aktif di majalah Kentingan, majalah kampus UNS. Satu jenazah ditemukan di pinggir hutan Sarangan, Magetan, Jawa Timur dengan luka beku di dada. Dugaan awal adalah luka senjata tajam.
Jambret, begitu panggilan akrab Ari Kristyono, mengecek ke Polsek setempat. Ia mencatat semua barang milik jenazah yang diamankan polisi. Mulai dari celana, helm, dompet, tas, dan lainnya. Sepulang dari Sarangan, Jambret mengabarkan semua ciri – ciri itu kepada kawan Imron dan mengajaknya untuk bertemu keluarga Gilang. Setiba di rumah Gilang, Jambret hanya menyerap banyak keterangan dan melihat foto Gilang. Lalu mengajak Imron ke suatu tempat dan menunjukkan foto jenazah Gilang. Benarlah dan yakinlah bahwa itu adalah Gilang. Yang paling membuat yakin adalah tanda tatto di leher. Kawan Gilang memiliki tatto kawat berduri yang melingkar di lehernya. Kabar inilah yang diteruskan pada kawan lain.
Duka menggantung. Bagi aktifis muda, yang baru bergabung dalam hitungan bulan, minggu atau hari, peristiwa ini menjadi pengingat. Bahwa perjuangan ini kadangkala juga meminta nyawa kita. Hati – hati adalah basis keamanan. Mungkin sekarang Gilang, tidak menutup kemungkinan besok kawan lain atau kita malah yang hilang.
Lama sekali Mas Jambret tidak membeberkan secara utuh tentang penemuan jenazah Gilang ini. Ada banyak pertimbangan waktu itu. Utamanya keamanan keluarga. Tapi, sekitar empat tahun lalu, ada diskusi kecil di Balaikota Solo yang membuatnya merasa aman bercerita utuh. Ketika ia menemukan jenazah Gilang, ternyata ada dua jenazah lain di samping Gilang. Sebagai wartawan, ada dorongan kuat untuk mengungkapnya. Tetapi niatan itu menjadi wurung, karena Jambret mengaku ada semacam teror. Teror psikologis ini yang menghentikan langkahnya untuk mengungkap dua jenazah lainnya. Hingga hari ini dua jenazah itu tetap menjadi misteri. Kita tidak pernah tahu apakah itu jenazah kawan kita juga atau bukan.
Jemputan Maut
Siang itu, ternyata menjadi siang terakhir aku melihat Gilang. Setelah rejim Soeharto tumbang, mahasiswa melakukan longmarch dari kampus UNS menuju Balaikota Surakarta. Waktu itu, longmarch dikawal oleh TNI AL bersenjata lengkap. Tak satupun tampak polisi. Polisi cukup riskan jika mengawal mahasiswa. Perseteruan panjang selama aksi – aksi massa, membuat kita gampang duel dengan mereka. Gampang panas dan saling menaikkan eksistensi. Maka dikirimlah TNI AL yang waktu itu mengawal kami sambil senyum – senyum. Sampai di Balaikota, seperti biasa saling bergantian orasi. Membangun semangat, membangun kekompakan juga merayakan ‘kemenangan’.
Perjalanan jauh dari kampus, membutuhkan istirahat. Para mahasiswa banyak berselonjor melepas lelah. Kebetulan waktu itu aku duduk di samping Gilang yang mengenakan hem lengan panjang warna biru. Lengkap dengan tas kecil dan rantai dompet. Gilang terbilang pengamen yang dendy. Bajunya selalu rapi dimasukkan celana. Model rambutnya juga rapi.
Beberapa menit kemudian, ada dua orang laki – laki mengendarai motor, mendekati Gilang. Gilang berdiri, lalu mereka bicara sebentar. Ketika Gilang kembali mendekat, aku tanya; “Siapa?” Gilang menjawab singkat; “Teman pengamen. Aku mau ikut mereka Yul. Ada tawaran pekerjaan di Magetan. Aku kudu kerjo.”
Setelah pamit begitu, ia lalu duduk di atas motor dengan diapit dua temannya tadi. Melesat pergi ke arah Pasar Gedhe dan hilang dari pandangan. Gilang tidak pamit secara terbuka kepada kawan lain. Pamit ke aku saja. Mungkin karena tempat duduk kami yang berdekatan dan aku bertanya. Aku rasakan ia seperti menyelinap pergi. Tapi aku tidak curiga, karena ia bilang bahwa dua lelaki itu adalah temannya. Merekapun terlihat akrab.
Sepeninggal Gilang, aku tercenung. Ingatanku melayang, bila akan ada aksi demo di kampus, kadang dia kujemput di pangkalan ngamen di kawasan Panggung, Solo. Lalu ia rela meninggalkan pekerjaan sebagai pengamen dan ikut aksi di kampus. Kalau sering aksi, berarti dia tidak dapat penghasilan dari ngamen. Padahal ia butuh biaya hidup. Kalau mahasiswa mungkin masih mending, kiriman dari rumah masih bisa diharapkan. Meskipun kadang juga telat datang dan harus hutang makan di warung. Makanya ketika dia bilang “aku kudu kerjo”, aku jadi tersadar, bahwa dia memang harus bekerja. Tidak ada kiriman dari orang tua.
Menjemput Jenazah
Tak diduga, tiga hari setelah kepergian Gilang, ada kabar tentang penemuan jenzahnya di kawasan Magetan. Pagi mendapat kabar, sore kami memutuskan meluncur ke Magetan. Menjemput Gilang. Ada ambulance yang selalu siap mengantar kita kemanapun. Ambulance ini milik kampus UMS yang kala itu bisa bebas digunakan mahasiswa. Ambulance ini juga, yang memberi rasa aman bagi para aktifis jika ingin keliling kota. Tidak pernah ada razia kalau ambulance ini melintas. Mungkin polisi berpikir bahwa itu memang ambulance yang membawa orang sakit atau jenazah. Padahal isinya full aktifis.
Ketika saat mencekam pecahnya bakar – bakaran di Solo, ambulance ini kendaraan ampuh dan aman bagi aktifis. Supirnyapun cukup ganteng! Hahaha, namanya mas Agus. Julukannya Agus Ambulance. Julukan itu untuk membedakan panggilan, karena waktu itu ada dua nama Agus dari kampus UMS. Satunya adalah Mas Agus Zaini.
![]() |
| Slamet Abidin |
Sepanjang perjalanan, si pacar ini hanya menangis. Tidak mau makan. Hanya sesekali minum air mineral. Sepanjang perjalanan ia menggenggam erat tanganku. Sambil nangis sesekali ia bercerita. Baru saja pacaran. Tidak lebih dari satu bulan. Selama sebulan pacaran, banyak hal berarti yang mereka lewati. Diantaranya yang paling dia ingat adalah sikap Gilang ketika merasa bersalah padanya. Gilang sangat menyalahkan diri dan menangis. Cerita ini memang benar. Aku sempat melihat ketika Gilang meminta maaf ke pacarnya karena merasa bersalah. Sampai jengkeng (berdiri bertumpu pada lutut) sambil menangis. Kejadian itu sempat aku lihat di salah satu lorong kampus sastra UNS diantara hari – hari padat aksi massa.
Ia juga cerita bahwa sikap Gilang berangsur berubah lembut. Perangainya yang kasar menjadi halus. Sangat sering menangis merenungi hidup. Perangai yang berubah ini juga diungkapkan oleh ibu Gilang, ketika aku bertemu di sebuah diskusi, tiga tahun lalu. Cerita lain yang sangat terkesan bagi si pacar adalah, tiga hari sebelum dijemput teman ngamennya di Balaikota dan pamit ke Magetan, Gilang telah menjadi muallaf.
“Dia kemarin masuk Islam Yul,” begitu sang pacar berkisah. “Tidak aku paksa, tapi dia sendiri yang ingin masuk Islam dan aku membantunya,” imbuh si pacar sambil mengusap air mata. Sampai di Magetan, perempuan ini semakin banyak diam. Menangis. Ketika aku tawarkan untuk melihat jenazah Gilang, ia menolak. “Gak wes Yul, gak kuat aku,” begitu katanya.
Otopsipun Digelar
Sampai di Magetan, rombongan dibantu polisi dan tim otopsi, menuju makam Gilang. Gilang ditemukan sebagai jenazah yang takdikenal dan belum didapat info siapa keluarganya. Sehingga Gilang dimakamkan sebagai Mister X. Menguburkan Mister X tentulah tidak selayak ketika memakamkan anggota keluarga. Ada sekitar empat makam Mister X di samping Gilang. Ndilalah posisi Gilang tidak enak dipandang, apalagi bagi orang – orang yang menyayanginya. Posisi makamnya di pinggir tanah miring yang hampir longsor. Mungkin saja jika ada guyuran hujan besar, makam itu akan tergerus. Jenazah diangkat dan digotong menuju meja otopsi. Jenazahnya memang sudah mulai membengkak. Otopsipun berlangsung di sekitar makam. Ada areal kecil yang dimodel seperti ruang dengan juntaian kain sebagai pembatas. Sekitar pukul delapan malam, otopsi selesai. Bisa bayangkan jam delapan malam, di pemakaman, gelap, sunyi, ditambah dengan aroma jenazah dari tubuh Gilang yang sedang diotopsi. Sungguh istimewa. Mungkin karena banyak orang, sehingga tidak ada rasa takut atau ngeri.
Jenazah langsung dihantar pulang ke Solo. Perjalanan yang mencekam dengan mengusung jenazah. Jelang tengah malam, rombongan memasuki batas kota Solo dari arah Sragen, rombongan meluncur ke markas DRMS. Jenazah disemayamkan di markas duka DRMS hingga pagi menjelang sudah dalam kondisi dibalut peti tertutup.
Aku agak kaget, karena ketika ambulance datang, markas DRMS sudah penuh sesak orang. Semakin bertambah banyak ketika pagi tiba. Hampir separo dari mereka membawa gitar dan wajah mereka tampak baru di mataku. Ternyata mereka adalah kawan – kawan dari Serikat Pengamen Jalanan (SPJ) dan Serikat Pengamen Indonesia (SPI) yang datang secara bergelombang sejak kami berangkat ke Magetan. Mereka datang hampir dari semua titik kota di Pulau Jawa.
Menuju Peristirahatan Terakhir
Jelang pukul 10.00 WIB, jenazah diberangkatkan menuju Astana Purwoloyo ( dekat kampus UNS Solo). Iring – iringan jenazah yang menggunakan mobil melesat dengan cepat. Pagi itu aku baru bisa menangis, ketika mobil jenazah meninggalkan markas DRMS. Aku terduduk di samping pintu gerbang markas.
Lebih menangis lagi, ketika melihan ribuan pengamen yang melayat ke markas DRMS, ternyata memutuskan untuk berjalan kaki menuju Astana Purwoloyo. Bisa bayangkan? Letak markas DRMS di sekitar pasar Klewer, lalu berjalan kaki menuju pemakaman yang berada di sekitar kawasan Pucang Sawit, Kelurahan Jebres. Sudahlah berjalan ramai – ramai, melawan arus pula. Haduuuh...
Aku ikut rombongan pejalan kaki itu.
Awalnya aku membayangkan, bahwa kami akan berjalan dengan hening cipta massal tanda berkabung. Ternyata jauuuuh dari bayangan. Ribuan pengamen jalanan ini berjalan melawan arus dengan sangat riuh dan meriah. Mereka berjalan berjajar rapi sambil bergandengan dan melantunkan lagu – lagu perjuangan. Kadang mereka menari sambil berlari dengan tetap bernyanyi. Hahahahahaha..dasar pengamen....‘Serbuan’ massa di jalan menuju Sekar Pace itu, mengakibatkan ruas jalan terkunci. Tidak ada satupun kendaraan yang berjalan.
Rombongan pengamen jalanan yang mengantarkan Gilang ke peristirahatan terakhir itu juga membawa banyak bendera merah putih. Ukurannya bermacam, ada yang standart, ada yang besar, juga ada yang ukuran mini dan diikat ke lengan kiri. Kawan – kawan DRMS juga sempat membagikan kain hitam ukuran kecil, tanda duka yang dililitkan di lengan kiri.
Sesampainya di makam, para pengamen langsung berhambur. Sudah ketinggalan prosesi pemakaman, tapi mereka tetap mendekat dan berdoa di depan makam Gilang. Aku berdiri sendirian di gerbang makam. Dari gerbang ini, aku bisa melihat makam Gilang yang masih penuh dengan pelayat yang berdoa dan menangis. Siang menjelang. Aku mendekat ke makam Gilang. Masih terlihat dua orang lelaki jongkok di samping makam. Dua lelaki dengan perawakan tinggi besar, pakaian sederhana lengkap dengan tatto di leher, lengan dan kaki. Aku menunggu di belakang mereka sekitar empat meter.
Aku mendengar mereka berbicara pada Gilang di sela tangis. Pandangan mataku juga tertuju pada gundukan makam Gilang. Makam yang lain daripada yang lain. Ada batu nisan yang baru menancap, lalu dipasang foto Gilang berpigura sederhana bersandar pada nisan. Lalu, disepanjang gundukan tanah yang menimbun tubuh Gilang, terhitung ada 13 pendera yang menancap dengan berbagai ukuran. Bendera ini sengaja ditancapkan oleh para pengamen, mungkin sebagai tanda duka dan perlawanan. Setelah dua lelaki itu pergi, aku agak mendekat, berdoa sebentar dan puang jalan kaki sendirian menuju kost di belakang kampus UNS. Selamat Jalan Kawan! Lahul Fatihah...
Aku tidak kenal dekat dengan Gilang. Bahkan sering ‘gelut’ di lapangan. Tapi bagiku dia sosok yang unik.
Berita pemakaman Gilang sempat aku baca keesokan harinya di banyak surat kabar lengkap dengan foto yang diambil dari ketinggian. Terlihat massa yang menyemut menuju Astana Purwoloyo. Pemakaman yang sempat melumpuhkan arus lalu lintas Kota Solo.
Tetap Misterius
Banyak analisa tentang kematian Gilang. Diantaranya ada yang menduga, bahwa dia dihabisi karena bergabung dengan gerakan moral mahasiswa menurunkan Soeharto. Ada juga analisa yang menyebut bahwa kematiannya adalah masalah pribadi dan cinta segitiga. Dari beberapa analisa itu, tidak ada yang menghasilkan kepastian sebab kematian Gilang. Wallahu a’lam bis showab.
Yulia Damayanti Purnomo adalah Koordinator Divisi Perempuan Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR) UNS


