: peran pemuda (mahasiswa) dalam perubahan sosial di Solo tahun 98
Oleh Nurul Khawari
Konsentrasi politik selama 32 tahun di masa orde baru pecah oleh anak anak muda (mahasiswa) yang mendadak sontak melakukan aksi aksi jalanan. Tahun 1998 ditandai dengan krisis ekonomi yang memuncak, mahasiswa mempelopori aksi aksi jalanan yang melancarkan serangkaian tuntutan ekonomi dan politik hingga berujung pada lengser keprabonnya Jendral Besar Soeharto.
Gerakan mahasiswa tahun 1998 bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul.[1] Ia lahir dari momentum yang tepat setelah mengalami proses panjang akan kebutuhan perubahan politik. Ditambah lagi rasa ketidakpuasan dan frustasi terhadap kebijakan ditengah masyarakat serta adanya harapan-harapan untuk memiliki masa depan yang lebih baik dengan menyandarkan harapan pada perubahan politik. Hal ini yang menjadi stimulans bagi munculnya aksi-aksi mahasiswa yang terjadi hampir di semua kampus di Indonesia dalam deretan panjang aksi tahun 1998. Banyak pihak telah memprediksi tidak akan terjadi aksi masa secara besar-besaran dengan satu tuntutan perubahan setelah aksi-aksi di tahun 1970-an yang melahirkan gerakan yang disebut malari (malapetaka tanggal 5 Januari) tahun 1974.
Setelah peristiwa itu diupayakan penjerat bagi daya kritis dikampus dengan diterapkannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) pada tahun 1978. Konsep tersebut pada mulanya disebut-sebut sebagai kebijakan yang berhasil menutup suara kritis dari kampus yang banyak bicara tentang perubahan politik. Namun sebuah kejutan terjadi sepanjang tahun 1998. Dimana aksi mahasiswa merata di kampus-kampus seluruh Indonesia. Berbeda dari angkatan sebelumnya, yang aksi mahasiswa biasanya terjadi hanya di kampus kampus tertentu di kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Tapi gerakan mahasiswa ‘98 aksi terjadi merata hampir di setiap kota. Di tiap kampus muncul komite aksi yang menjadi pelopor aksi-aksi mahasiswa.
Di Solo sendiri komite aksi yang lahir dan aktif dalam laju besar massa yang menuntut Soeharto mundur antara lain di UNS aksi dipelopori oleh SMPR (Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat), KM UNS (Keluarga Mahasiswa UNS), dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Surakarta). Di UMS ada Solidaritas Mahasiswa Pembela Tanah Air (SMPTA), Di UTP berdiri Ganesha, STSI muncul komite aksi yang menamakan diri MPRS dan beberapa komite aksi lain di kampus kecil di Kota Surakarta.
Pada tahun 1999, pernah diselenggarakan Rembuk Nasional Mahasiswa Indonesia (RNMI) I di Kota Bali. Dalam acara tersebut bertemu komite aksi dari berbagai Kota di indonesia yang terlibat dalam aksi aksi menjelang turunnya presiden Soeharto. Menurut data panitia ada 54 organisasi yang hadir dalam forum nasional untuk membahas sikap-sikap mahasiswa terhadap kepemimpinan Habibie dan menyambut momentum pemilu 1999. Panitia menyebutkan, bahwa tidak semua komite aksi yang lahir dalam momentum aksi 1998 diundang dan hadir dalam kesempatan tersebut. Tapi panitia rembug berhasil menghitung jumlah komite yang lahir tahun 1998 adalah sekitar lebih dari 314 komite aksi yang terselenggara. Namun sebagian komite aksi tersebut turut menghilang secara perlahan seiring dengan turunnya Soeharto. Beberapa komite aksi yang kemudian melembagakan diri menjadi organisasi massa yang permanen diantaranya adalah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Kesatuan Aksi Mahasiswa Moslem Indonesia (KAMMI) dan beberapa lainnya menjadi kaukus atau ikatan ikatan angkatan yang sarat dengan perdebatan dan klaim historis peran peran sosial mereka di tahun pergolakan politik 1998.
Gerakan mahasiswa dalam banyak peristiwa memang telah menjadi mitos bagi sumbu perubahan politik disuatu negara, termasuk didalamnya adalah Indonesia. Dalam sejarah tercatat perubahan politik di tahun 1966 yang telah melahirkan orde baru, adalah perubahan yang tidak bisa dilepaskan dari peran strategis kelompok ini.
Gerakan Mahasiswa Atau Pemuda
Dalam dunia aktivis mahasiswa angkatan 90-an, dikenal dengan nama bunuh diri kelas. Fenomena istilah bunuh diri kelas berangkat dari pengertian bahwa mahasiswa adalah termasuk dalam salah satu sel kecil kelas borjuasi dalam terminologi Marxian. Atau oleh beberapa orang menyebut mahasiswa ada di zero kelas. Kelompok mahasiswa kiri yang mengorganisikan diri dalam wadah Partai Rakyat Demokratik (PRD) menyebut bahwa perubahan terjadi tidak didalam kampus. Tetapi perubahan terjadi diluar kampus. Setidaknya ini yang menjadi kata kunci sehingga mahasiswa segera keluar dari kampus untuk melakukan pembangunan organisasi atau dalam istilah mereka adalah pengorganisiran. Pernyataan untuk bunuh diri kelas pada aktivis mahasiswa angkatan 90-an menunjukkan entitas perubahan tidak terletak pada mahasiswa namun pada pemuda. Hal ini dapat dijelaskan juga melalui fakta historis, bahwa komite aksi yang terbentuk pada fase persiapan menuju peristiwa Mei 1998 adalah koalisi pemuda dan mahasiswa.
Tercatat beberapa orang yang ditepatkan di sektor tersebut adalah Dita Indasari, ditenpatkan sebagai ketua umum PPBI. Dibeberapa kota strukur PPBI juga berasal dari SMID. Seperti Kelik Ismunandar (Mahasiswa UNS) sebagai ketua PPBI cabang Solo, Nia Damayanti (Mahasiswa Unair) sebagai ketua cabang Surabaya dan lain sebagainya. Di sektor petani juga demikian. Di pengurus pusat terdapat Coen Husein Pontoh (Mahasiswa UI) adalah ketua Departemen Pendidikan dan propaganda dan lain sebagainya. Masuknya tokoh aktivis mahasiswa untuk aktiv di sektor lain dikenal dengan upaya bunuh diri kelas. Kalimat tersebut memang sangat luar biasa untuk melihat fenomena gerakan mahasiswa yang secara sukarela menghilangkan predikat mahasiswa dan mengaku sebagai buruh atau petani. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa secara pasti dan sadar mengerti betul tentang prespektif kedepan dari gerakan sosial.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, pemuda atau mahasiswa yang sesungguhnya berada dalam situasi kritis dan memiliki kemampuan daya gerak yang lebih kritis. Dalam beberapa kajian historis, nilai kritis tidak menjadi monopoli mahasiwa. Mahasiswa adalah bagian dari kelompok pemuda, namun pemuda yang kritis belum tentu mahasiswa.
Secara politis, usia ini dikategorikan sebagai generasi muda atau dalam psikologis disebut mondig yang berusia antara 19-25 tahun. Ciri utama taraf perkembangan kejiwaan ini adalah, kuatnya dorongan untuk membebaskan diri dari norma-norma sosial, dan mencari identitas baru melalu reaksi yang tidak berujung pangkal. Dengan demikian mereka akan segera menemukan perilaku sosial secara mandiri sebagai dasar dari pola berpikir generasinya. Hal inilah yang mendorong tumbuhnya sifat sifat yang cenderung menggambarkan keadaan jiwa yang dapat disebut between self and society. Yaitu sifat sifat kolegialitas dari kaum muda yang berfungsi untuk mempersepsikan dirinya sebagai pribadi, yang menyebabkan mereka merasa memiliki suatu integritas sosial dan kemandirian sikap yang membaur antara yang satu dengan lainnya.Pemuda atau mahasiswa bukan sesuatu entitas yang terpisah. Dalam makalah ini mahasiswa dipersepsikan sebagai pemuda dalam segala aspeknya.
Peran Mahasiswa atau Pemuda
Mahasiswa adalah satu dari bagian kelompok anak muda yang sangat sadar dengan entitasnya sebagai salah satu bagian agen perubahan sosial (agent of social change). Posisi mahasiswa dalam beberabagi kasus bisa tergantikan oleh pemuda, pelajar atau cantrik pada masa lalu.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap momentum perubahan sejarah, gerakan mahasiswa mempunyai peran yang tidak bisa diabaikan begitu saja, atau paling tidak telah mampu menjadi katalisator dalam membuka ruang demokrasi. Untuk itu jika sejarah dipercaya sebagai ruang gerak dialektis antara kondisi subyektif pelaku dan situasi obyektif dimana mereka berada, maka muncul dan tenggelamnya gerakan mahasiswa dari tahun ketahun bisa juga dilihat demikian.
Berkaitan dengan kondisi subyektif, mahasiswa sebagai replika generasi muda yang bergejolak mempunyai dua kekuatan pendorong munculnya kesadaran subyektif yang kemudian berfungsi sebagai energi pendorong aktivitas politiknya. Pertama, adalah intelektualitas yaitu kombinasi antara watak ilmiah (yaitu kritis-obyektif) dengan pengetahuan sistematis sehingga mahasiswa mampu menilai keadaan masyarakatnya. Kedua, adalah identitas sosial khas yang dimiliki mahasiswa, yang dibangun dari peran-peran politik yang pernah dimainkan oleh generasi mahasiswa sebelumnya dalam rentang sejarah peran peran sosial mahasiswa.[2]
Kondisi subyektif lainnya yang turut mendorong kemunculan gerakan mahasiswa yaitu berkaitan dengan fariable–fariable yang ruang lingkupnya langsung berhubungan dengan kepentingan mahasiswa. Termasuk kedalam fariable ini adalah latar belakang sosial mahasiswa, keterbukaan pasar tenaga kerja untuk pasca kelulusan dari jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan kondisi obyektifnya adalah berhubungan dengan situasi politik yang berkembang dalam setiap periode gerakan mahasiswa. Dalam hal ini Fachry Ali[3] mengatakan yaitu semakin longgar (terbuka) sistem politik maka akan semakin pasang pula gerakan mahasiswa, khususnya gerakan politik. Sebaliknya semakin ketat suatu sistem politik, biasanya diikuti pula oleh surutnya gerakan-gerakan politik mahasiswa.
Kedua hal tersebut dalam bahasa Bonar Tigor Naipospos disebut sebagai panggung dan lakon. Mahasiswa adalah ‘lakon’ yang memakai ‘panggung’ situasi perpolitikan nasional.[4] Kedua hal yang berkaitan erat inilah, pada akhirnya melahirkan karakter gerakan mahasiswa yang berbeda setiap zamannya. Karakter gerakan disjungtif dalam ukuran beda tertentu. Baik persoalan pelopor gerakan, kontinuitas perlawanan, ‘ruang publik’ perlawanan, visi orientasi gerakan, kepemimpinan gerakan.[5]
Pemuda memiliki peranan politik menonjol dalam setiap perubahan politik. Sepanjang sejarah, angkatan muda selalu menampilkan pesona yang terekam oleh sejarah. Karenanya tidak kurang langkah langkah generasi ini selalu menimbulkan perubahan dan visi-visi baru dalam masyarakat yang mencoba menggugat generasi sebelumnya. Ben Anderson (1988) dalam studinya tentang revolusi pemuda dimasa pergerakan melawan pendudukan Jepang menyebutkan peran aktif kelompok pemuda. Menurut Ben, pemuda berada dalam satu titik dari tahap kehidupan dari busur kehidupan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Tetapi dalam pengertian yang lain, arti pemuda melebihi busur kehidupan itu sendiri.[6]
Mengapa Pemuda Melakukan Aksi Protes
Replika generasi muda yang kita bicarakan ini adalah generasi muda yang biasanya terikat dengan sebuah institusi atau lembaga pendidikan yang kemudian ia merasa memiliki beban sejarah sebagai pengemban yang sah atas masa depan masyarakat yang akan menjadi tempat kehidupannya dikemudian hari.
Aksi politik kaum muda biasanya berupa aksi-aksi protes yang mencoba menggugat sesuatu yang mereka rasakan berada diluar idealisme yang mereka pahami atau menggugat suatu bentuk kemapanan. Hal ini terkait secara umum dengan gejolak psikologis yang rata rata dimiliki oleh kelompok usia muda. Gerakan massa aksi protes biasanya merupakan bagian dari pertumbuhan kegiatan sosial politik kepemudaan yang berlangsung di dalam kelompok kelompok, kampus, dan organisasi mereka.
Eric Hoffer ( 1993), menguraikan tentang keterkaitan antara gerakan massa dan aksi protes yang mengandung dimensi politik dengan mengutarakan ciri ciri yang masuk didalamnya yaitu; mereka merasa kecewa, tidak puas dan frustasi. Pandangan-pandangan akan masa depan dan ketakutannya akan masa depan menjadikan mereka berpegang teguh pada masa kini. Sedangkan keyakinan pada masa datang menyebabkan orang terbuka pada perubahan[7].
Penjelasan aksi protes yang biasa dilakukan kaum muda dalam hal ini mashasiswa bisa merujuk pada beberapa teori dasar Hoffer tentang gerakan massa. Bahwa gerakan massa sebagai gerakan yang dicirikan oleh : pertama; terbangkitnya kerelaan para anggotanya untuk berkorban sampai mati. Kedua; kecenderungan untuk beraksi secara kompak. Ketiga; dimilikinya fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian, intolerensi, kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal.[8]
Lebih lanjut Hoffer, mengatakan bahwa gerakan massa digerakkan oleh kaum frustasi yang fanatik, atau diistilahkan Hoffer sebagai “The true beliefer”. Anggota gerakan massa diidentifikasi Hoffer sebagai orang-orang yang tidak puas dan kecewa. Yaitu mereka yang tersingkir dalam kehidupan, kelompok marginal ditengah masyarakat, hingga kelompok minoritas yang tertekan.[9]
Menurut Hoffer, tujuan gerakan massa adalah “perubahan”.[10] Dalam bahasa Yap Tham Hiem, gerakan massa adalah gerakan yang mengutuk dan melempar jauh masa kini yang sudah bobrok dan busuk dan pada saat yang sama mendambakan janji-janji hari depan yang gemilang.[11] Kekuatan gerakan massa yang paling utama berasal dari kecenderungan pengikutnya melakukan aksi bersama dan mengorbankan dirinya. Dalam membentuk kekuatan ini, gerakan massa dipersatukan oleh kesamaan keyakinan fanatisme, doktrin, kepemimpinan, dan bahkan kekejamannya.[12]
Gerakan-gerakan itu pada dasarnya dapat dianggap sebagai proses dinamika intern dalam masyarakat lokal atau regional, yang bertalian dengan kelompok-kelompok sosial khusus. Ciri-ciri asasi dari gerakan adalah watak kepemimpinan, pola ideologi dan sistem kepercayaan.
Suatu aspek yang mengiringi gerakan-gerakan sosial (kaum muda) adalah reaksinya terhadap perkembangan politik melalui sikap yang disebut “protes”. Yaitu protes sosial politik terhadap perkembangan politik kekuasaan dilingkungannya. Yang dilakukan oleh organisasi kaum muda adalah dengan sikapnya yang reaktif dan cenderung dapat menjurus kearah penolakan terhadap kehadiran ha-hal yang dinilai negatif bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara.
Pergerakan massa aksi protes kaum muda hanya timbul manakala kekuatan-kekuatan politik yang resmi dinilai tidak lagi mampu memecahkan masalah-masalah umum secara memadai. Tampilnya kaum muda bukan bearti pemuda mampu memecahkan masalah sosial politik secara memadai, melainkan untuk menarik perhatian lembaga-lembaga yang memiliki otoritas politik dan profesional agar bergerak secara cepat untuk segera bertindak mengatasi masalah tersebut.
Untuk itu maraknya unjuk rasa dan gerakan massa sebagai akibat cerminan terjadinya ketertutupan saluran partisipasi politik. Tersumbatnya saluran-saluran partisipasi politik itu dimungkinkan oleh terbentuknya perbedaan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang yang dimiliki oleh negara dengan kepentingan masyarakat.
Theory of Colective Behaviour.[13] Yang dikemukakan oleh Neil J. Smelser menjelaskan bahwa mobilisasi massa berpijak atas dasar suatu belief atau keyakinan, dan gejolak sosial itu dapat berujud perilaku yang tidak terlembaga seperti; keranjingan, gila mode, revivalisme agama, pergerakan utopis, mesianistis, pemberontakan serta revolusi.
Keyakinan yang menjadi pendorong untuk ikut serta di dalam gejolak sosial, oleh Smelser disebut generelized belief, yang terdiri atas : Yang histeris melahirkan panik, yang bersifat pencapaian keinginan melahirkan keranjingan atau tipe tertentu dari revivalisme dan lain-lain, yang bersifat bermusuhan melahirkan upaya pengkambinghitaman orang lain, tindak kekerasan dan lain-lain. Berorientasi norma melahirkan pergerakan reform dan counter reform. Yang berorientasi nilai, melahirkan revolusi politik, pergerakan nasional, pemberontakan menentang undang-undang dasar negara dan lain-lain.
Smelser kemudian menunjukkan bahwa sebuah gejolak sosial dapat terjadi jika terdapat sejumlah faktor penentu, necessary conditions yang dipaparkan dalam enam kondisi. Pertama, Structural conduciveness (kondisi struktural), yaitu adanya suatu struktur sosial yang mendukung terhadap lahirnya suatu gejolak. Kedua, structural Strain (ketegangan struktural), adanya ketegangan struktural yang timbul, misalnya adanya suatu ancaman tertentu dan depresi ekonomi. Ketiga, The spread of generalized belief (penyebaran keyakinan yang dianut), yaitu tersebarnya keyakinan umum yang dianut. Ini berarti situasi harus dibuat bermakna bagi para pelaku potensial, sumber ketegangan dan cara menghadapinya harus diidentifikasi. Keempat, the precipitating factor (faktor pemercepat), yaitu faktor pencetus yang berupa sesuatu yang dramatik. Suatu peristiwa empirik atau situasi tertentu dapat menjadi lebih dari satu faktor penentu dalam gejolak sosial. Kelima, mobilization into action (mobilisasi untuk mengadakan aksi), yaitu suatu mobilisasi untuk bertindak. Dalam situasi ini peranan seorang amat menentukan. Situasi dapat berkembang dari kepanikan, timbulnya permusuhan dan kemudian diteruskan dengan agitasi untuk reform atau revolusi. Keenam, the operation of social control (kontrol sosial), yaitu pengoperasian kontrol sosial atau faktor penentu yang berbalik mencegah, mengganggu, membelokkan, merintangi gejolak-gejolak itu, dengan cara: (a) mencegah terjadinya episode gejolak-gejolak sosial dan (b) mobilitas alat-alat negara segera setelah gejolak sosial mulai terjadi.
Keenam faktor tersebut diatas harus tersedia, harus saling mendukung dan terkait dalam suatu fenomena gejolak sosial. Dalam konteks politik Indonesia tahun 1990-an, keenam syarat tersebut sudah terpenuhi. Dan terakhir adalah kegelisahan massa yang diakibatkan krisis multidimensional sebagai pemercepat gerakan massa tersebut.
Penutup
Membaca serangkaian peritiwa politik dan beberapa perlawanan mengingatkan kita pada konsep hegemoni dan dominasi yang dikembangkan oleh Antonio Gramschi. Menurut Gramschi hegemoni merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dalam terminolginya adalah momen dimana filsafat dan praktek sosial menyatu dalam keadaan berimbang. Sedang dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga maupun manifestasi perseorangan. Pengaruh dari hegemoni ini berbentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial. Hegemoni selalu berhubungan dengan peyusunan kekuatan negara dalam melanggengkan kekuasan[14].
Dalam The Formation of Intelectual yang ditulis Gramschi, pemerintah diidentifikasikan sebagai masyarakat politik (political society), yang berfungsi sebagai peredam setiap pembangkangan dalam konformitas secara hegemoni. Upaya ini dilakukan dengan membuat hukum dan peraturan-peraturan pemerintah. Selanjutnya lewat organisasi-organisasi massa, surat kabar, literature massa dan lain-lainnya dikontrol ketat oleh pemerintah mulai mengoperasikan hegemoni idiologi, agar menghasilkan perhatian spontan dari masyarakat untuk mengatur stabilitas sosial demi kelanggengan kekuasaannya.
Untuk itulah kelompok aksi mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi lain yang terjadi di Indonesia berbentuk gelombang aksi besar-besaran pada tahun 1998 adalah bentuk dari counter hegemony yang ada di Indonesia yang sangat represif dibawah pemerintahan Orde Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anhar Gongong, Kahar Mudzakar, Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Ben Anderson, Revoloesi pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
Eric Hoffer, Gerakan Massa, terj. Masri Maris, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1983
Fachry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Jakarta, Inti Sarana Aksara.
Hartoko (ed), Golongan Cendikiawan, Mereka yang Berumah di Atas Angin, Jakarta, Gramedia, 1980.
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar dan Insist Press, Yogyakarta, 2000
Jurnal dan esei
Marsilam Simanjuntak, “Gerakan Mahasiswa 1998”, Kompas 31 Mei 1998.
Bonar Tigor Naipospos, “Mahasiswa Indonesia Dalam Panggung Politik; Kearah Gerakan Rakyat”, Prisma No. 7 tahun 1996
Suryadi A. Radjab,”Mitologi Dalam Panggung Gerakan”, Arena No. 3 tahun 1990.
[1] Kenyataan ini juga nampak disinyalir oleh Marsilam Simanjuntak dalam analisisnya tentang gerakan mahasiswa, Kompas 31 Mei 1998.
[2] Uraian lebih lanjut untuk hal ini baca, Edward E. Shils, Kaum Cendikiawan, dalam Hartoko (ed), Golongan Cendikiawan, Mereka yang Berumah di Atas Angin, Jakarta, Gramedia, 1980.
[3] Fachry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Jakarta, Inti Sarana Aksara. hal.10.
[4] Untuk lebih jelasnya baca, Bonar Tigor Naipospos, “Mahasiswa Indonesia Dalam Panggung Politik; Kearah Gerakan Rakyat”, Prisma No. 7 tahun 1996 hal. 17. Simak pula Komentar Suryadi A. Radjab,”Mitologi Dalam Panggung Gerakan”, Arena No. 3 tahun 1990.
[5] Sarlito A. Wirawan pernah terlibat dalam studi serius yang mengupas tentang peran pemimpin aksi massa mahasiswa. Dalam kajian psikologis didapatkan bahwa kepemimpinan ‘intelektual’ sangat dominan dalam gerakan mahasiswa.
[6] Konsep pemuda menurut Anderson bukan semata usia dimana ia disebut pemuda. Namun suatu konsep tersendiri tentang kelompok ‘generasi muda’ itu sendiri. Lihat Ben Anderson, Revoloesi pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
[7] Eric Hoffer, Gerakan Massa, terj. Masri Maris, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1983
[8] Ibid
[9] Paparan mengenai anggota (potensial) gerakan massa, lihat ibid, hal. 25.
[10] Ibid, hal.3.
[11] Ibid, hal. 9.
[12] Ibid, hal. 59.
[13] Neil J. Smelser, dalam buku Kahar Mudzakar, Anhar Gongong. 1985.
[14] Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar dan Insist Press, Yogyakarta, 2000. halaman 45.
Oleh Nurul Khawari
Konsentrasi politik selama 32 tahun di masa orde baru pecah oleh anak anak muda (mahasiswa) yang mendadak sontak melakukan aksi aksi jalanan. Tahun 1998 ditandai dengan krisis ekonomi yang memuncak, mahasiswa mempelopori aksi aksi jalanan yang melancarkan serangkaian tuntutan ekonomi dan politik hingga berujung pada lengser keprabonnya Jendral Besar Soeharto.
Gerakan mahasiswa tahun 1998 bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul.[1] Ia lahir dari momentum yang tepat setelah mengalami proses panjang akan kebutuhan perubahan politik. Ditambah lagi rasa ketidakpuasan dan frustasi terhadap kebijakan ditengah masyarakat serta adanya harapan-harapan untuk memiliki masa depan yang lebih baik dengan menyandarkan harapan pada perubahan politik. Hal ini yang menjadi stimulans bagi munculnya aksi-aksi mahasiswa yang terjadi hampir di semua kampus di Indonesia dalam deretan panjang aksi tahun 1998. Banyak pihak telah memprediksi tidak akan terjadi aksi masa secara besar-besaran dengan satu tuntutan perubahan setelah aksi-aksi di tahun 1970-an yang melahirkan gerakan yang disebut malari (malapetaka tanggal 5 Januari) tahun 1974.
Setelah peristiwa itu diupayakan penjerat bagi daya kritis dikampus dengan diterapkannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) pada tahun 1978. Konsep tersebut pada mulanya disebut-sebut sebagai kebijakan yang berhasil menutup suara kritis dari kampus yang banyak bicara tentang perubahan politik. Namun sebuah kejutan terjadi sepanjang tahun 1998. Dimana aksi mahasiswa merata di kampus-kampus seluruh Indonesia. Berbeda dari angkatan sebelumnya, yang aksi mahasiswa biasanya terjadi hanya di kampus kampus tertentu di kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Tapi gerakan mahasiswa ‘98 aksi terjadi merata hampir di setiap kota. Di tiap kampus muncul komite aksi yang menjadi pelopor aksi-aksi mahasiswa.
Di Solo sendiri komite aksi yang lahir dan aktif dalam laju besar massa yang menuntut Soeharto mundur antara lain di UNS aksi dipelopori oleh SMPR (Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat), KM UNS (Keluarga Mahasiswa UNS), dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Surakarta). Di UMS ada Solidaritas Mahasiswa Pembela Tanah Air (SMPTA), Di UTP berdiri Ganesha, STSI muncul komite aksi yang menamakan diri MPRS dan beberapa komite aksi lain di kampus kecil di Kota Surakarta.
Pada tahun 1999, pernah diselenggarakan Rembuk Nasional Mahasiswa Indonesia (RNMI) I di Kota Bali. Dalam acara tersebut bertemu komite aksi dari berbagai Kota di indonesia yang terlibat dalam aksi aksi menjelang turunnya presiden Soeharto. Menurut data panitia ada 54 organisasi yang hadir dalam forum nasional untuk membahas sikap-sikap mahasiswa terhadap kepemimpinan Habibie dan menyambut momentum pemilu 1999. Panitia menyebutkan, bahwa tidak semua komite aksi yang lahir dalam momentum aksi 1998 diundang dan hadir dalam kesempatan tersebut. Tapi panitia rembug berhasil menghitung jumlah komite yang lahir tahun 1998 adalah sekitar lebih dari 314 komite aksi yang terselenggara. Namun sebagian komite aksi tersebut turut menghilang secara perlahan seiring dengan turunnya Soeharto. Beberapa komite aksi yang kemudian melembagakan diri menjadi organisasi massa yang permanen diantaranya adalah Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Kesatuan Aksi Mahasiswa Moslem Indonesia (KAMMI) dan beberapa lainnya menjadi kaukus atau ikatan ikatan angkatan yang sarat dengan perdebatan dan klaim historis peran peran sosial mereka di tahun pergolakan politik 1998.
Gerakan mahasiswa dalam banyak peristiwa memang telah menjadi mitos bagi sumbu perubahan politik disuatu negara, termasuk didalamnya adalah Indonesia. Dalam sejarah tercatat perubahan politik di tahun 1966 yang telah melahirkan orde baru, adalah perubahan yang tidak bisa dilepaskan dari peran strategis kelompok ini.
Gerakan Mahasiswa Atau Pemuda
Dalam dunia aktivis mahasiswa angkatan 90-an, dikenal dengan nama bunuh diri kelas. Fenomena istilah bunuh diri kelas berangkat dari pengertian bahwa mahasiswa adalah termasuk dalam salah satu sel kecil kelas borjuasi dalam terminologi Marxian. Atau oleh beberapa orang menyebut mahasiswa ada di zero kelas. Kelompok mahasiswa kiri yang mengorganisikan diri dalam wadah Partai Rakyat Demokratik (PRD) menyebut bahwa perubahan terjadi tidak didalam kampus. Tetapi perubahan terjadi diluar kampus. Setidaknya ini yang menjadi kata kunci sehingga mahasiswa segera keluar dari kampus untuk melakukan pembangunan organisasi atau dalam istilah mereka adalah pengorganisiran. Pernyataan untuk bunuh diri kelas pada aktivis mahasiswa angkatan 90-an menunjukkan entitas perubahan tidak terletak pada mahasiswa namun pada pemuda. Hal ini dapat dijelaskan juga melalui fakta historis, bahwa komite aksi yang terbentuk pada fase persiapan menuju peristiwa Mei 1998 adalah koalisi pemuda dan mahasiswa.
Tercatat beberapa orang yang ditepatkan di sektor tersebut adalah Dita Indasari, ditenpatkan sebagai ketua umum PPBI. Dibeberapa kota strukur PPBI juga berasal dari SMID. Seperti Kelik Ismunandar (Mahasiswa UNS) sebagai ketua PPBI cabang Solo, Nia Damayanti (Mahasiswa Unair) sebagai ketua cabang Surabaya dan lain sebagainya. Di sektor petani juga demikian. Di pengurus pusat terdapat Coen Husein Pontoh (Mahasiswa UI) adalah ketua Departemen Pendidikan dan propaganda dan lain sebagainya. Masuknya tokoh aktivis mahasiswa untuk aktiv di sektor lain dikenal dengan upaya bunuh diri kelas. Kalimat tersebut memang sangat luar biasa untuk melihat fenomena gerakan mahasiswa yang secara sukarela menghilangkan predikat mahasiswa dan mengaku sebagai buruh atau petani. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa secara pasti dan sadar mengerti betul tentang prespektif kedepan dari gerakan sosial.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, pemuda atau mahasiswa yang sesungguhnya berada dalam situasi kritis dan memiliki kemampuan daya gerak yang lebih kritis. Dalam beberapa kajian historis, nilai kritis tidak menjadi monopoli mahasiwa. Mahasiswa adalah bagian dari kelompok pemuda, namun pemuda yang kritis belum tentu mahasiswa.
Secara politis, usia ini dikategorikan sebagai generasi muda atau dalam psikologis disebut mondig yang berusia antara 19-25 tahun. Ciri utama taraf perkembangan kejiwaan ini adalah, kuatnya dorongan untuk membebaskan diri dari norma-norma sosial, dan mencari identitas baru melalu reaksi yang tidak berujung pangkal. Dengan demikian mereka akan segera menemukan perilaku sosial secara mandiri sebagai dasar dari pola berpikir generasinya. Hal inilah yang mendorong tumbuhnya sifat sifat yang cenderung menggambarkan keadaan jiwa yang dapat disebut between self and society. Yaitu sifat sifat kolegialitas dari kaum muda yang berfungsi untuk mempersepsikan dirinya sebagai pribadi, yang menyebabkan mereka merasa memiliki suatu integritas sosial dan kemandirian sikap yang membaur antara yang satu dengan lainnya.Pemuda atau mahasiswa bukan sesuatu entitas yang terpisah. Dalam makalah ini mahasiswa dipersepsikan sebagai pemuda dalam segala aspeknya.
Peran Mahasiswa atau Pemuda
Mahasiswa adalah satu dari bagian kelompok anak muda yang sangat sadar dengan entitasnya sebagai salah satu bagian agen perubahan sosial (agent of social change). Posisi mahasiswa dalam beberabagi kasus bisa tergantikan oleh pemuda, pelajar atau cantrik pada masa lalu.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap momentum perubahan sejarah, gerakan mahasiswa mempunyai peran yang tidak bisa diabaikan begitu saja, atau paling tidak telah mampu menjadi katalisator dalam membuka ruang demokrasi. Untuk itu jika sejarah dipercaya sebagai ruang gerak dialektis antara kondisi subyektif pelaku dan situasi obyektif dimana mereka berada, maka muncul dan tenggelamnya gerakan mahasiswa dari tahun ketahun bisa juga dilihat demikian.
Berkaitan dengan kondisi subyektif, mahasiswa sebagai replika generasi muda yang bergejolak mempunyai dua kekuatan pendorong munculnya kesadaran subyektif yang kemudian berfungsi sebagai energi pendorong aktivitas politiknya. Pertama, adalah intelektualitas yaitu kombinasi antara watak ilmiah (yaitu kritis-obyektif) dengan pengetahuan sistematis sehingga mahasiswa mampu menilai keadaan masyarakatnya. Kedua, adalah identitas sosial khas yang dimiliki mahasiswa, yang dibangun dari peran-peran politik yang pernah dimainkan oleh generasi mahasiswa sebelumnya dalam rentang sejarah peran peran sosial mahasiswa.[2]
Kondisi subyektif lainnya yang turut mendorong kemunculan gerakan mahasiswa yaitu berkaitan dengan fariable–fariable yang ruang lingkupnya langsung berhubungan dengan kepentingan mahasiswa. Termasuk kedalam fariable ini adalah latar belakang sosial mahasiswa, keterbukaan pasar tenaga kerja untuk pasca kelulusan dari jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan kondisi obyektifnya adalah berhubungan dengan situasi politik yang berkembang dalam setiap periode gerakan mahasiswa. Dalam hal ini Fachry Ali[3] mengatakan yaitu semakin longgar (terbuka) sistem politik maka akan semakin pasang pula gerakan mahasiswa, khususnya gerakan politik. Sebaliknya semakin ketat suatu sistem politik, biasanya diikuti pula oleh surutnya gerakan-gerakan politik mahasiswa.
Kedua hal tersebut dalam bahasa Bonar Tigor Naipospos disebut sebagai panggung dan lakon. Mahasiswa adalah ‘lakon’ yang memakai ‘panggung’ situasi perpolitikan nasional.[4] Kedua hal yang berkaitan erat inilah, pada akhirnya melahirkan karakter gerakan mahasiswa yang berbeda setiap zamannya. Karakter gerakan disjungtif dalam ukuran beda tertentu. Baik persoalan pelopor gerakan, kontinuitas perlawanan, ‘ruang publik’ perlawanan, visi orientasi gerakan, kepemimpinan gerakan.[5]
Pemuda memiliki peranan politik menonjol dalam setiap perubahan politik. Sepanjang sejarah, angkatan muda selalu menampilkan pesona yang terekam oleh sejarah. Karenanya tidak kurang langkah langkah generasi ini selalu menimbulkan perubahan dan visi-visi baru dalam masyarakat yang mencoba menggugat generasi sebelumnya. Ben Anderson (1988) dalam studinya tentang revolusi pemuda dimasa pergerakan melawan pendudukan Jepang menyebutkan peran aktif kelompok pemuda. Menurut Ben, pemuda berada dalam satu titik dari tahap kehidupan dari busur kehidupan antara masa kanak-kanak dan dewasa. Tetapi dalam pengertian yang lain, arti pemuda melebihi busur kehidupan itu sendiri.[6]
Mengapa Pemuda Melakukan Aksi Protes
Replika generasi muda yang kita bicarakan ini adalah generasi muda yang biasanya terikat dengan sebuah institusi atau lembaga pendidikan yang kemudian ia merasa memiliki beban sejarah sebagai pengemban yang sah atas masa depan masyarakat yang akan menjadi tempat kehidupannya dikemudian hari.
Aksi politik kaum muda biasanya berupa aksi-aksi protes yang mencoba menggugat sesuatu yang mereka rasakan berada diluar idealisme yang mereka pahami atau menggugat suatu bentuk kemapanan. Hal ini terkait secara umum dengan gejolak psikologis yang rata rata dimiliki oleh kelompok usia muda. Gerakan massa aksi protes biasanya merupakan bagian dari pertumbuhan kegiatan sosial politik kepemudaan yang berlangsung di dalam kelompok kelompok, kampus, dan organisasi mereka.
Eric Hoffer ( 1993), menguraikan tentang keterkaitan antara gerakan massa dan aksi protes yang mengandung dimensi politik dengan mengutarakan ciri ciri yang masuk didalamnya yaitu; mereka merasa kecewa, tidak puas dan frustasi. Pandangan-pandangan akan masa depan dan ketakutannya akan masa depan menjadikan mereka berpegang teguh pada masa kini. Sedangkan keyakinan pada masa datang menyebabkan orang terbuka pada perubahan[7].
Penjelasan aksi protes yang biasa dilakukan kaum muda dalam hal ini mashasiswa bisa merujuk pada beberapa teori dasar Hoffer tentang gerakan massa. Bahwa gerakan massa sebagai gerakan yang dicirikan oleh : pertama; terbangkitnya kerelaan para anggotanya untuk berkorban sampai mati. Kedua; kecenderungan untuk beraksi secara kompak. Ketiga; dimilikinya fanatisme, antusiasme, harapan berapi-api, kebencian, intolerensi, kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal.[8]
Lebih lanjut Hoffer, mengatakan bahwa gerakan massa digerakkan oleh kaum frustasi yang fanatik, atau diistilahkan Hoffer sebagai “The true beliefer”. Anggota gerakan massa diidentifikasi Hoffer sebagai orang-orang yang tidak puas dan kecewa. Yaitu mereka yang tersingkir dalam kehidupan, kelompok marginal ditengah masyarakat, hingga kelompok minoritas yang tertekan.[9]
Menurut Hoffer, tujuan gerakan massa adalah “perubahan”.[10] Dalam bahasa Yap Tham Hiem, gerakan massa adalah gerakan yang mengutuk dan melempar jauh masa kini yang sudah bobrok dan busuk dan pada saat yang sama mendambakan janji-janji hari depan yang gemilang.[11] Kekuatan gerakan massa yang paling utama berasal dari kecenderungan pengikutnya melakukan aksi bersama dan mengorbankan dirinya. Dalam membentuk kekuatan ini, gerakan massa dipersatukan oleh kesamaan keyakinan fanatisme, doktrin, kepemimpinan, dan bahkan kekejamannya.[12]
Gerakan-gerakan itu pada dasarnya dapat dianggap sebagai proses dinamika intern dalam masyarakat lokal atau regional, yang bertalian dengan kelompok-kelompok sosial khusus. Ciri-ciri asasi dari gerakan adalah watak kepemimpinan, pola ideologi dan sistem kepercayaan.
Suatu aspek yang mengiringi gerakan-gerakan sosial (kaum muda) adalah reaksinya terhadap perkembangan politik melalui sikap yang disebut “protes”. Yaitu protes sosial politik terhadap perkembangan politik kekuasaan dilingkungannya. Yang dilakukan oleh organisasi kaum muda adalah dengan sikapnya yang reaktif dan cenderung dapat menjurus kearah penolakan terhadap kehadiran ha-hal yang dinilai negatif bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara.
Pergerakan massa aksi protes kaum muda hanya timbul manakala kekuatan-kekuatan politik yang resmi dinilai tidak lagi mampu memecahkan masalah-masalah umum secara memadai. Tampilnya kaum muda bukan bearti pemuda mampu memecahkan masalah sosial politik secara memadai, melainkan untuk menarik perhatian lembaga-lembaga yang memiliki otoritas politik dan profesional agar bergerak secara cepat untuk segera bertindak mengatasi masalah tersebut.
Untuk itu maraknya unjuk rasa dan gerakan massa sebagai akibat cerminan terjadinya ketertutupan saluran partisipasi politik. Tersumbatnya saluran-saluran partisipasi politik itu dimungkinkan oleh terbentuknya perbedaan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang yang dimiliki oleh negara dengan kepentingan masyarakat.
Theory of Colective Behaviour.[13] Yang dikemukakan oleh Neil J. Smelser menjelaskan bahwa mobilisasi massa berpijak atas dasar suatu belief atau keyakinan, dan gejolak sosial itu dapat berujud perilaku yang tidak terlembaga seperti; keranjingan, gila mode, revivalisme agama, pergerakan utopis, mesianistis, pemberontakan serta revolusi.
Keyakinan yang menjadi pendorong untuk ikut serta di dalam gejolak sosial, oleh Smelser disebut generelized belief, yang terdiri atas : Yang histeris melahirkan panik, yang bersifat pencapaian keinginan melahirkan keranjingan atau tipe tertentu dari revivalisme dan lain-lain, yang bersifat bermusuhan melahirkan upaya pengkambinghitaman orang lain, tindak kekerasan dan lain-lain. Berorientasi norma melahirkan pergerakan reform dan counter reform. Yang berorientasi nilai, melahirkan revolusi politik, pergerakan nasional, pemberontakan menentang undang-undang dasar negara dan lain-lain.
Smelser kemudian menunjukkan bahwa sebuah gejolak sosial dapat terjadi jika terdapat sejumlah faktor penentu, necessary conditions yang dipaparkan dalam enam kondisi. Pertama, Structural conduciveness (kondisi struktural), yaitu adanya suatu struktur sosial yang mendukung terhadap lahirnya suatu gejolak. Kedua, structural Strain (ketegangan struktural), adanya ketegangan struktural yang timbul, misalnya adanya suatu ancaman tertentu dan depresi ekonomi. Ketiga, The spread of generalized belief (penyebaran keyakinan yang dianut), yaitu tersebarnya keyakinan umum yang dianut. Ini berarti situasi harus dibuat bermakna bagi para pelaku potensial, sumber ketegangan dan cara menghadapinya harus diidentifikasi. Keempat, the precipitating factor (faktor pemercepat), yaitu faktor pencetus yang berupa sesuatu yang dramatik. Suatu peristiwa empirik atau situasi tertentu dapat menjadi lebih dari satu faktor penentu dalam gejolak sosial. Kelima, mobilization into action (mobilisasi untuk mengadakan aksi), yaitu suatu mobilisasi untuk bertindak. Dalam situasi ini peranan seorang amat menentukan. Situasi dapat berkembang dari kepanikan, timbulnya permusuhan dan kemudian diteruskan dengan agitasi untuk reform atau revolusi. Keenam, the operation of social control (kontrol sosial), yaitu pengoperasian kontrol sosial atau faktor penentu yang berbalik mencegah, mengganggu, membelokkan, merintangi gejolak-gejolak itu, dengan cara: (a) mencegah terjadinya episode gejolak-gejolak sosial dan (b) mobilitas alat-alat negara segera setelah gejolak sosial mulai terjadi.
Keenam faktor tersebut diatas harus tersedia, harus saling mendukung dan terkait dalam suatu fenomena gejolak sosial. Dalam konteks politik Indonesia tahun 1990-an, keenam syarat tersebut sudah terpenuhi. Dan terakhir adalah kegelisahan massa yang diakibatkan krisis multidimensional sebagai pemercepat gerakan massa tersebut.
Penutup
Membaca serangkaian peritiwa politik dan beberapa perlawanan mengingatkan kita pada konsep hegemoni dan dominasi yang dikembangkan oleh Antonio Gramschi. Menurut Gramschi hegemoni merujuk pada pengertian tentang situasi sosial politik, dalam terminolginya adalah momen dimana filsafat dan praktek sosial menyatu dalam keadaan berimbang. Sedang dominasi merupakan konsep dari realitas yang menyebar melalui masyarakat dalam sebuah lembaga maupun manifestasi perseorangan. Pengaruh dari hegemoni ini berbentuk moralitas, adat, religi, prinsip-prinsip politik dan semua relasi sosial. Hegemoni selalu berhubungan dengan peyusunan kekuatan negara dalam melanggengkan kekuasan[14].
Dalam The Formation of Intelectual yang ditulis Gramschi, pemerintah diidentifikasikan sebagai masyarakat politik (political society), yang berfungsi sebagai peredam setiap pembangkangan dalam konformitas secara hegemoni. Upaya ini dilakukan dengan membuat hukum dan peraturan-peraturan pemerintah. Selanjutnya lewat organisasi-organisasi massa, surat kabar, literature massa dan lain-lainnya dikontrol ketat oleh pemerintah mulai mengoperasikan hegemoni idiologi, agar menghasilkan perhatian spontan dari masyarakat untuk mengatur stabilitas sosial demi kelanggengan kekuasaannya.
Untuk itulah kelompok aksi mahasiswa dan kelompok pro-demokrasi lain yang terjadi di Indonesia berbentuk gelombang aksi besar-besaran pada tahun 1998 adalah bentuk dari counter hegemony yang ada di Indonesia yang sangat represif dibawah pemerintahan Orde Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anhar Gongong, Kahar Mudzakar, Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Ben Anderson, Revoloesi pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
Eric Hoffer, Gerakan Massa, terj. Masri Maris, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1983
Fachry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Jakarta, Inti Sarana Aksara.
Hartoko (ed), Golongan Cendikiawan, Mereka yang Berumah di Atas Angin, Jakarta, Gramedia, 1980.
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar dan Insist Press, Yogyakarta, 2000
Jurnal dan esei
Marsilam Simanjuntak, “Gerakan Mahasiswa 1998”, Kompas 31 Mei 1998.
Bonar Tigor Naipospos, “Mahasiswa Indonesia Dalam Panggung Politik; Kearah Gerakan Rakyat”, Prisma No. 7 tahun 1996
Suryadi A. Radjab,”Mitologi Dalam Panggung Gerakan”, Arena No. 3 tahun 1990.
[1] Kenyataan ini juga nampak disinyalir oleh Marsilam Simanjuntak dalam analisisnya tentang gerakan mahasiswa, Kompas 31 Mei 1998.
[2] Uraian lebih lanjut untuk hal ini baca, Edward E. Shils, Kaum Cendikiawan, dalam Hartoko (ed), Golongan Cendikiawan, Mereka yang Berumah di Atas Angin, Jakarta, Gramedia, 1980.
[3] Fachry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Jakarta, Inti Sarana Aksara. hal.10.
[4] Untuk lebih jelasnya baca, Bonar Tigor Naipospos, “Mahasiswa Indonesia Dalam Panggung Politik; Kearah Gerakan Rakyat”, Prisma No. 7 tahun 1996 hal. 17. Simak pula Komentar Suryadi A. Radjab,”Mitologi Dalam Panggung Gerakan”, Arena No. 3 tahun 1990.
[5] Sarlito A. Wirawan pernah terlibat dalam studi serius yang mengupas tentang peran pemimpin aksi massa mahasiswa. Dalam kajian psikologis didapatkan bahwa kepemimpinan ‘intelektual’ sangat dominan dalam gerakan mahasiswa.
[6] Konsep pemuda menurut Anderson bukan semata usia dimana ia disebut pemuda. Namun suatu konsep tersendiri tentang kelompok ‘generasi muda’ itu sendiri. Lihat Ben Anderson, Revoloesi pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
[7] Eric Hoffer, Gerakan Massa, terj. Masri Maris, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1983
[8] Ibid
[9] Paparan mengenai anggota (potensial) gerakan massa, lihat ibid, hal. 25.
[10] Ibid, hal.3.
[11] Ibid, hal. 9.
[12] Ibid, hal. 59.
[13] Neil J. Smelser, dalam buku Kahar Mudzakar, Anhar Gongong. 1985.
[14] Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Pustaka Pelajar dan Insist Press, Yogyakarta, 2000. halaman 45.
